Makalah Shorof Bab Ta'ajub (التعجب)


التعجب صيغته وشروطه

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sharaf II
Dosen Pengampu: Drs. Ahmad Hasymi Hashona, M. A



 





Disusun Oleh:
Muhammad Nurkhasbullah      (113211060)
Muhammad Fadholi                 (113211061)
Muhammad Izuddin                 (113211062)



FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2013

I.     PENDAHULUAN
Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan hadis. Umat islam tidak dapat menggali, memahami dan mempelajari ajaran agama Islam yang terdapat pada al-Quran dan hadis tanpa memiliki kemampuan menggali, memahami dan menguasai bahasa Arab dengan baik. Dalam upaya mengembangkan wawasan berbahasa Arab, amat diperlukan adanya sebuah kajian kebahasaan. Kemampuan menguasai bahasa Arab merupakan kunci dan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang hendak mengkaji ajaran Islam secara luas dan mendalam.
Ilmu sharaf adalah salah satu dari beberapa ilmu yang digunakan dalam mempelajari  bahasa arab,  dalam  ilmu  sharaf terdapat  banyak  pembagian  bab, salah satunya bab التعجب :dan kami mencoba menguraikan sedikit apa saja yang terkandung di dalamnya, seperti Shighot dan Syarat Ta’ajub.

II.     RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana pengertian التعجب ?
B.     Apa saja shigot التعجب ?
C.     Apa saja syarat التعجب ?

III.     PEMBAHASAN
        A.    Pengertian التعجب
Kata التعجب dilihat dari segi Lugowi adalah berasal dari kata عجب ,يعجب ,عجبا yang berarti: heran, takjub atau kagum.[1]
Dan jika ditinjau dari segi Istilahi menurut A. Shohib Khoironi  dalam kitabnya yang berjudul “Adlohul Manaahij juz 1” mendifinisikan:
التعجب هواستعظام صفة شيء بإحدى صيغة التعجب.[2]
Ta’ajub adalah memperbesar sifat  sesuatu dengan menggunakan salah satu sighot ta’ajjub.
Dalam kitab “Mulkhos Qowaid al-arobiyah” juga didifinisikan seperti berikut,
أسلوب التعجّب هو أسلوب يستعمل للتعبير عن الدهشة أو استعظام في شىء ما.[3]
Bentuk Ta’ajub adalah bentuk yang diggunakan untuk menggambarkan kekaguman atau menganggap besar sesuatu itu.
Didalam kitab yang sering kita buat rujukkan yaitu, “Jami’ Al Durus Al ‘Arabiyyah” menjelaskan:
التعجب هو استعظام فعل فاعل ظاهر المزية.[4]
Ta’ajub adalah menganggap besar pekerjaan pelaku yang tampak kelebihanya.
Hasan Hamdun juga mendifinisikan seperti berikut:
التعجب هو شعورداخلي تنفعل به النفس سلبا أوإيجابا إزاء شخص أوحيوان أو شيئ[5]
Ta’ajub adalah perasaan yang mendalam yang menjadikan hati gembira dari segi negative dan positif tentang seseorang, hewan atau sesuatu.
Contoh dalam Al-Qur’an:
 y#øx. šcrãàÿõ3s? «!$$Î/ öNçGYà2ur $Y?ºuqøBr& öNà6»uŠômr'sù (
Mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu. (Al-Baqoroh: 28).
Contoh dalam Hadis, dari Abi Hurairoh, Rasulullah SAW bersabda:
سُبْحَانَ اللهِ ! إنَّ المُؤْمِنَ لَا يَنْجَسُ حَيًّا وَلَا مَيْتًا
Maha suci Allah! Sesungguhnya Orang mu’min tidak najis baik hidup maupun mati.
Contoh dalam perkataan orang Arab:
لِلَهِ دَرَّهُ فَرْسًا ! ولله أنت!
Alangkah hebat kemahiranya menunggangi kuda! hebat kamu! [6]

             B.     Shigot التعجب
a)      Bagi ta’ajub ada dua shighat yaitu; ما أَفْعَلَه dan   اَفْعِلْ به(yang berarti; alangkah aktifnya dia). Seperti yang dijelaskan didalam Alfiyah Ibnu Malik yang berbunyi:
بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا # اَوْجِىءْ بِأَفْعِلْ قَبْلَ مَجْرُوْرٍ بِبَا
Ucapkanlah shighat ta’ajjub dengan wazan أَفْعَلَ sesudah (ditambahkan kepadanya ) (مَا), atau datangkanlah wazan أَفْعِلْ sebelum huruf jer (بَ). Contoh:  مَا اَحْسَنَ زَيْدًا , اَحْسِنْ بِالزَّيْد[7]
b)      Bagi ta’ajjub hendaknya mempunyai المتعجب منه  (sesuatu yang dikagumi).
المتعجب منه  هو الذى يقع بعد صيفة التعجب وهو شيء معظم أو محقر
Muta’ajub minhu adalah lafad yang terletak setelah sifat ta’ajub dan dia sesuatu yang dikagumi atau direndahkan.
Dan muta’ajjub minhu mempunyai dua syarat, yaitu:  [8]  
a.       Hendaknya berupa ma’rifat, contoh:  أكبر بالجبال atau  ماأكبر الجبال
b.      Hendaknya nakiroh maksudah, contoh: ما أسعد رجلا يخاف الله

           C. Syarat التعجب
a)      Untuk membentuk kedua shighot fi’il ta’ajjub disyaratkan terpenuhinya  syarat berikut ini:
1.  Hendaknya fi’il yang dimaksud berupa fi’il tsulasi, untuk itu tidak dapat dibentuk fi’il ta’ajub dari fi’il yang lebih dari tiga huruf bentuk asalnya seperti: دَحْرَجَ  و و انْطَلَقَ   اسْتَخْرَج
2.    Hendaknya fi’il itu dapat ditashrif, dengan demikian maka fi’il ta’ajjub tidak dapat dibentuk dari fi’il yang tidak dapat ditashrif, seperti: لَيْسَ  و عَسَى و بِعْسَ  و نِعْمَ
3.    Hendaknya makna fi’il yang dimaksud dapat memberi pengertian mufadholah, karena itu maka fi’il ta’ajjub tidak dapat dibentuk dari hal seperti lafad  مَاتَ dan فَنِىَ  serta lafad-lafad lainya yang sejenis karena didalamya tidak terkandung pengertian yang mengistimewakan sesuatu terhadap sesuatu yang lain.
4.    Hendaknya fi’il yang dimaksud bersifat tam. untuk itu dikecualikan dari pada fi’il-fi’il yang bersifat naqish, seperti lafads kaana dan saudara-saudaranya. Karena itu tidak boleh mengatakan seperti berikut: مَااَكْوَنَ زَيْدًا قَائِمًا  tetapi ulama nahwu kufah memperbolehkanya.
5.    Hendaknya tidak dinafikan, dikecualikan dari hal ini fi’il yang sudah lazim dinafikan, seperti: مَاعَاجَ فُلَانُ بِالدَّوَاءِ  (si fulan belum pernah memanfaatkan obat) atau fi’il yang dimaksud kedudukan nafinya besifat jawas (hanya boleh, tidak harus), contoh: مَاضَرَبْتُ زَيْدًا (aku tidak pernah memukul zaid).
6.    Hendaknya washf dari fi’il yang dimaksud bukan af’ala, yang perlu diperhatikan dari hal ini yaitu fi’il yang menunjukkan arti warna,
contoh: سَوِدَ فَهُوَ اَسْوَدُ (ia telah hitam, maka ia hitam)
حَمِرَفَهُوَاَحْمَرُ (ia telah merah, maka ia merah).
Ø Fi’il yang menunjukkan makna penyakit (cacat), contoh:
حَوِلَ فَهُوَ اَحْوَلُ (ia telah juling, maka ia orang yang juling)
عَوِرَفَهُوَ اَعْوَرُ (ia telah buta sebelah, maka ia orang yangbuta sebelah).
Ø Sehubungan dengan contoh-contoh diatas tidak boleh mengatakan seperti: مَااَحْمَرَهُ , مَااسْوَدَهُ , مَااَحْوَلَه , مَااَعْوَرَهُ , اَحْوِلْ بِهِ , اَعْوِرْبِهِ
7.    Hendaknya fi’il yang dimaksud tidak dimabni maf’ulkan, contoh : ضَرِبَ زَيْدٌ (si zaid telah dipukul). [9]

b)      Cara menta’ajjubkan lafad yang tidak memenuhi syarat ta’ajub
Untuk membuat shighat ta’ajjub yang tidak memenuhi persyaratan dapat dipakai lafadz asyadda, asydid atau yang sejenis dengan keduanya. Lalu jadikan fi’il tadi sebagai mashdar shorih atau mashdar mu’awal setelahnya. Contoh:
الصرح: ما أشدّ اجتهاده , أشدد باجتهاده
المؤول بالصرح: ما أشدّ أن تجتهد , أشدد بأن تجتهد
c)      Hukum-hukum yang besangkutan dengan ta’ajub
a.       Tidak boleh didahului ma’mul shighot ta’ajub, contoh:  السماء ماأعظم ,
 بالسماء أعظام
b.      Dibolehkanya sambung antara sighot ta’ajub dengan ma’mulnya dengan huruf jer atau dhorof, contoh:ماأحسن بالرجل أن يصدق , ما أقبح أمام الأب أن يكذب
c.       Terkadang ta’ajub terjadi dengan tidak menggunakan shighot ta’ajub, contoh: سبحان الله, والله دره
d.      Ta’ajub tidak boleh terbuat dari fi’il jamid mutlak. [10]

IV.     PENUTUP
Dari uraian yang kita bahas dapat diseimpulkan, bahwa Ta’ajub adalah mengagumi pekerjaan pelaku yang tampak kelebihanya. Dengan menggunakan dua shighot yaitu; ما أفعله dan  افعل بهUntuk membentuk kedua shighot fi’il ta’ajjub disyaratkan terpenuhinya  syarat berikut ini: 1. Hendaknya berupa fi’il tsulasi 2. dapat ditashrif 3. dapat memberi pengertian mufadholah 4. bersifat tam 5. tidak dinafikan 6. washf dari fi’il yang dimaksud bukan af’ala 7. tidak dimabni maf’ulkan.
Demikialah makalah yang kami susun, kurang lebihnya kami minta maaf, kami merasa bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, maka kami pemakalah berharap kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat, agar mewujudkan makalah yang lebih baik dan sempurna. Besar harapan kami semoga makalah yang singkat ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghalainy, Musthofa. Jami’ Al Durus Al ‘Arabiyyah,, Beirut: Maktabatul ‘Ashriyah, 1984.

Bahaud bin Abdullah ibnu Aqil, Alfiyyah syarah Ibnu ‘Aqil, terjm. Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar baru Algesindo, 2009.

Bisri, Adib dan Fatah, Munawir A.,  Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
Hamdun, Hasan, Al-Mu’in fi As-Shorfi, Bairut: Alahu kutub, 2000
Khoironi, A. Shohib, Adlohul Manaahij juz 1, Jakarta: tp., 2007
Ni’mah, Fuadun, Mulkhos Qowaidul lughoh Al-arobiyah, Damsik: Dar al-Hikmah, ttt.



[1] Adib Bisri dan Munawir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), hlm. 479
[2] A. Shohib Khoironi, Adlohul Manaahij juz 1, hlm. 334
[3] Fuadun Ni’mah, Mulkhos Qowaidul lughoh Al-arobiyah, (Damsik: Dar al-Hikmah), hlm. 184
[4] Al-Ghalainy, Musthofa. Jami’ Al Durus Al ‘Arabiyyah,, (Beirut: Maktabatcul ‘Ashriyah), hlm. 67

[5] Hasan Hamdun, Al-Mu’in fi As-Shorfi, (Bairut: Alahu kutub), hlm. 49
[6] Al-Ghalainy, Musthofa. Jami’ Al Durus Al ‘Arabiyyah, hlm. 65
[7] Bahaud bin Abdullah ibnu Aqil, Alfiyyah syarah Ibnu ‘Aqil, terjm. Bahrun Abu Bakar, (Bandung: Sinar baru Algesindo), hlm. 587
[8] A. Shohib Khoironi, Adlohul Manaahij juz 1, hlm. 334
[9] Bahaud bin Abdullah ibnu Aqil, Alfiyyah syarah Ibnu ‘Aqil, terjm. Bahrun Abu Bakar. hlm. 591-593

[10] A. Shohib Khoironi, Adlohul Manaahij juz 1, hlm. 335


1 Komentar

Silahkan tinggalkan komentar..

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar..

Lebih baru Lebih lama